Wednesday 28 March 2012

Label Reaksioner untuk Anak Kita

Banyak para ahli berpendapat bahwa panggilan kita terhadap buah hati adalah do’a. Oleh karena itu, kita harus waspada dengan label-label atau panggilan-panggilan ringan yang kita berikan.
Contoh : kamu ini nakal, dasar anak cengeng, kolokan banget sih, dan seabreg label lain yang menjatuhkan reputasi dan kepercayaan diri anak. Bila panggilan kita bentuknya negatif, bukan mustahil panggilan tersebut melekat kuat pada diri anak sehingga ia turut melabel pribadinya dengan panggilan yang kita lontarkan. Dan secara psikologis, hal ini bisa menjadikan seorang anak under estimate, merasa diri tidak punya kehebatan, dan tentu saja ia akan merasa banyak hal yang salah dalam dirinya. Luar biasa berbahaya.
Label-label yang kita berikan pada anak, baik label positif maupun negatif, dua-duanya memiliki kekuatan yang sama untuk bisa merasuk pada diri anak. Perbedannya adalah terletak pada dampak yang ditimbulkan dari kedua label tesebut. Dan diakui atau tidak, bagi sebagian orangtua adalah merupakan hal yang sangat mudah dalam memberikan label negatif pada anak, seperti terdapat dalam contoh-contoh berikut.
  1. Betapa mudahnya kita mengatakan nakal pada anak kita hanya karena ia memukul adiknya atau salah seorang diantara keluarga. Padahal kita belum tahu tentang motif dibalik apa yang dilakukan oleh anak kita.
  2. Betapa mudahnya kita mengklaim anak kita sebagai pemalas hanya karena ia tidak mau memenuhi permintaan kita untuk mengambil gelas atau barang lainnya.
  3. Betapa ringannya kita memberikan julukan pembohong pada anak kita hanya karena ia berbuat bohong untuk yang pertamakalinya.

Sesungguhnya, anak kita belum tentu sesuai dengan julukan-julukan “menjatuhkan” yang kita berikan. Bahkan sangat mungkin, julukan-julukan tersebut benar-benar melekat pada diri anak, gara-gara kita terlalu mudah memberikannya. Padahal sejatinya, bila kita mau bersabar dengan berupaya memilih kata-kata yang lebih bijak, atau memberikan pengertian edukatif ketimbang mengklaimnya dengan kata-kata yang “mengerdilkan” jiwa, sang anak pun akan lebih menerima dan tidak akan sampai pada tingkat under astimate, sakit hati, krisis percaya diri dan lain sebagainya.
Sebaliknya, apabila panggilan yang kita upayakan berupa ungkapan yang membangun, yang optimistis dan mampu mendongkrak kepercayaan dirinya, hasilnya pun insya Allah tidak akan mengecewakan. Untuk membuktikannya, cobalah Anda membiasakan diri dengan panggilan atau ungkapan-ungkapan berikut ini;
  •  Sini hebat...!
  • Ayo... Kamu pasti bisa...!
  • Hai, Mujahid...!
  • Kakak memang pintar ya...
  • Ayo coba sekali lagi. Lakukan sampai berhasil.
  • Anak hebat bukan penakut!
  • Anak sholeh tidak cengeng!
  • Anak hebat tidak merengek!

Memberikan panggilan terbaik pada buah hati adalah akhlak Rasululllah Saw. Dan beliau pun melakukannya tidak semata-mata. Memberikan penghargaan, menjadikan buah hati menjadi lebih percaya diri dan memperlihatkan kesantunan orangtua kepada anak. Demikianlah beberapa tujuannya. Dalam buku Tahapan Mendidik Anak, Jama’al Abdur Rahman membahas tentang hal ini. Beliau menuliskan bahwa Anas r.a pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dahulu ia punya seorang saudara laki-laki dan dikenal dengan nama panggilan Abu ‘Umair. Dan menurut Anas, saudaranya itu sudah disapih. Bila Nabi Saw datang, beliau selalu menyapanya dengan panggilan : “Hai Abu ‘Umair!”
Disadari atau tidak, baik atau buruknya panggilan yang kita berikan pada buah hati kita, tentu akan memengaruhi terhadap jiwa dan kepribadiannya. Bila panggilannya menyenangkan dan membuat anak kita merasa dihargai, maka yang akan timbul adalah kepercayaan diri yang luar biasa. Sebaliknya, bila kita justru memanggilnya dengan sebutan yang menyakitkan dan menjatuhkan, jangan salahkan anak kita bila di kemudian hari  tampil sebagai pribadi yang rendah diri.
Maka mulai saat ini berazzamlah kita untuk tidak pelit dalam memberikan panggilan terbaik. Karena awal ketangguhan buah hati kita adalah kita sendiri. Dan Rasulullah pun telah mengingatkan kita dalam sabdanya;

Janganlah sekali-kali seseorang diantara kamu mengatakan; ‘Hai budak laki-lakiku! Hai budak perempuanku,’ karena kamu semua, baik yang laki-laki maupun perempuan, adalah hamba-hamba Allah. Akan tetapi, hendaknya ia mengatakan; ‘Hai pelayan priaku! Hai pelayan wanitaku! Hai pesuruh priaku! Hai pesuruh wanitaku’” (HR. Muslim dan Ahmad)

Setelah Anda membiasakan diri menggunakan ungkapan-ungkapan positif yang reaksioner, tugas selanjutnya adalah meyakini bahwa ungkapan yang terucap dari mulut kita tersemat bukan hanya di telinga, melainkan di jiwa anak. Ungkapan atau label yang kita berikan akan bersemayam terus dalam ruang benaknya yang pada akhirnya menjadi sebuah charger  yang akan membuat diri anak kita yakin dan percaya diri. Allohu’alam bish showaab.
Sumber: Miarti (Majalah al intima )

catatan pak guru

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

2 komentar:

  1. Assalamuaikum wr.wb.

    Bapak/Ibu/Sdr yang dirahmati Allah. Sekadar saran, jika mem-pos-kan sebuah tulisan dimana tulisan tersebut utuh hasil karya orang, mohon mencantumkan nama penulisnya. Karena artikel yang Bapak/Ibu/Sdr posan itu murni tulisan saya yang terbit di Majalah Al-Intima'. Hanya sedikit ada perubahan judul. Bapak/Ibu/Sdr menyebutkan "Anak Kita", sementara saya "Buah Hati."

    Demikian saran saya. Semoga kita tidak mudah melakukan plagiasi demi menvghormati karya orang lain.

    Terimakasih
    Miarti

    ReplyDelete
  2. Wasalamu'alikum wr.wb
    terima kasih bu miarti, dulu saya memposting ini saat awal2 mengelola blog, copas sana sini dulu biar penuh, mungkin kelupaan untuk memberikan sumbernya. Mohon maaf dan langsung saya tulis sumbernya.Terima kasih atas pemberitahuannya..Wassalamu;alikum Wr.Wb

    ReplyDelete