Saturday 24 March 2012

Apel Emas Pak Munif

Masih ingat note saya di facebook berjudul kerja sama pasukan elang di SMP Lazuardi Insan Kamil Sukabumi. Ternyata hasil dari pembelajaran tersebut dahsyat. Dua minggu setelah kelas tersebut, bersamaan dengan meletusnya gunung Merapi, beredar isu lewat sms. Isinya akan terjadi gempa di Sukabumi pada pukul 20.00 sampai 22.00 wib malam itu. Kontan saja seluruh isi sekolah panik.


Menjelang pukul 20.00, seluruh siswa keluar dari kamar masing-masing dan berkumpul di aula. Ada fenomena lain yang terjadi malam itu.
“Ian, sini tidur dekat aku, jangan jauh-jauh,” pinta Ja’far. Padahal Ian terkenal siswa yang paling jahil dan punya hobi menggoda teman-temannya pada saat tidur. Namun malam itu wujud nyata kebersamaan terjadi. Pada saat mereka dihadapkan dengan bahaya, mereka langsung berinisiatif untuk saling melindungi satu sama lain. Mereka lupakan ketidak cocokannya. Mereka tinggalkan itu. Satu sama lain saling melindungi. Sebuah kerja sama yang cantik dari PASUKAN ELANG.

24 November 2010, kembali saya mengajar di SMP LIK Sukabumi. Seperti biasanya pagi hari saya berbincang dengan kepala sekolah dan beberapa teman guru. Dan muncul masalah baru yaitu kerjasama antar siswa masih belum bisa bertahan lama. Artinya jika tidak ada momen yang spesial, maka mulailah para siswa memunculkan kebiasaan jeleknya, misalnya saling mengejek, usil, dan lain-lain.

Saya memulai pelajaran dengan membawa tumpukan gambar apel berwarna warni, ada merah, biru, hijau, dan hitam. Lalu saya selipkan sebuah gambar apel yang spesial, yaitu apel emas. Berkali-kali saya tunjukkan gambar apel emas tersebut kepada siswa.

“Semua apel yang berwarna warni itu jumlahnya banyak, tapi ada yang spesial hanya satu apel, yaitu apel emas.”

Setelah itu saya minta semua siswa keluar kelas menuju halaman sekolah yang cukup luas. Saya meminta tiga orang siswa untuk membawa tumpukan gambar apel tersebut. Dengan aba-aba dari saya kami berempat melempar gambar-gambar tersebut ke udara.

“Dengan hitungan ke tiga, hanya 15 detik, kalian harus ambil sebanyak-banyaknya gambar apel tersebut. Satu .. dua ..tiga ....” instruksi saya.

Dan mereka semua berebut untuk memungut apel sebanyak-banyaknya. Pasti yang mereka buru adalah apel emas. Ada yang terjatuh, ada yang hanya dapat sedikit, sebab badannya kecil, terpelanting oleh teman-temannya yang berbadan besar.
Setelah mereka berebut berjuang mendapatkan gambar apel tersebut, saya minta untuk kembali ke kelas. Saya minta mereka menghitung jumlah apel yang berhasil didapat. Ada yang mendapat hanya 3 apel, ada yang 18 apel, dan ketika saya tanya siapa yang mendapat apel emas. Si Farhan langsung angkat tangan dengan wajah gembira. Semua tepuk tangan atas keberhasilan Farhan.

“Sekarang kalian punya waktu 3 menit untuk saling berbagi apel-apel itu. Memang sih kalian tadi mendapatkannya dengan susah payah. Terserah kalian mau memberi atau tidak. Jadi yang mendapat sedikit, karena usahanya hanya sedikit, silahkan meminta apel lain dari teman-temannya yang mendapat banyak apel,” saya memberi instruksi.

Spontan kelas menjadi riuh. Ada yang dengan rela membagi. Namun ada yang mempertahankan.
“Aku tadi sampai terjatuh lho, jadi aku gak akan berikan satupun apelku.”
“Okey aku beri tapi yang warna hitam saja ya. Aku tidak suka warna hitam.”

Si Diki dengan susah payah merayu Farhan untuk mendapat apel emasnya. Farhan semula menolak. Namun rayuan Diki membuatnya luluh.
“Aku berjanji akan membersihkan kamarmu selama tiga hari.” Akhirnya Farhan pasrah memberi apel emas itu kepada Diki. Di belakang bangkunya Diki meloncat-loncat kegirangan sebab berhasil merayu Farhan.

Setelah acara minta dan bagi selesai. Saya minta mereka menghitung perolehan nilai atas masing-masing usahanya. Nilai masing-masing apel saya catat di papan tulis dan semua siswa langsung menghitungnya.

Nilai apel berwarna merah = 5, hijau = 10, biru – 20, hitam = 50. Wow ... mereka bersorak saat menghitung. Ada yang gembira ada yang sedih, sebab melepaskan apel hitam. Ternyata warna hitam mempunyai nilai tinggi. Lalu saya lanjutkan dengan pertanyaan.

“Siapa yang memegang apel terbanyak?” Ada 4 siswa yang angka tangan, masing-masing mendapat 12 gambar apel. Saya menanyakan bagaimana bisa sampai mendapatkan 12. Mereka menjawab dengan meminta sebanyak-banyaknya dari teman-temannya.
“Siapa yang mendapat apel paling sedikit?” Si Syarif angkat tangan.
“Tadi kamu mendapat berapa apel?”
“Sepuluh, sekarang hanya dua.”
“Kok bisa?”
“Ya saya gak tega teman-teman meminta kepada saya. Ketika satu apel saya berikan, yang lainnya juga meminta. Ya saya berikan saja. Apalagi ada teman yang hanya mendapat sedikit apel,” jawab Syarif.
Lalu saya berikan nilai.
“Yang memegang apel terbanyak, nilainya minus 500, sedangkan yang memegang apel paling sedikit, nilainya plus 500.”
Sekali lagi mereka berteriak, sama sekali tidak menyangka akan nilai-nilai yang saya sebutkan.
“Siapa yang memegang apel emas?” tanya saya.
Dengan wajah ceriah Diki langsung angka tangan dan bercerita bagaimana usaha dia mendapatkan apel tersebut dari Farhan.
“Yang memegang apel emas, nilainya ..... minus 1000.”

Wow .. kelas jadi ramai sekali. Ada yang bertepuk tangan. Ada yang tertawa. Tentunya ada yang paling sedih yaitu Diki. Farhan sampai menari-nari kegirangan, sebab dia yang berikan apel emas tersebut kepada Diki. Akhirnya tercatatlah siapa saja siswa yang mendapatkan nilai tertinggi dan terendah.

Lalu saya mulai memberi ‘teaching point’ kepada semua siswa. Mereka antusias mendengarkan.

“Coba bayangkan jika sebelum saya sebarkan gambar apel berwarna warni tadi, saya munculkan nilai-nilainya terlebih dahulu. Apa yang terjadi? Tentunya kalian tidak akan berebut mendapatkannya. Dan tidak akan pernah mengambil apel emas. Benarkan? Tapi karena kalian silau dengan penampilan luar, dengan bentuk luar dari seseorang. Lalu jika kalian tahu jika lebih banyak memberi itu nilainya tinggi, pasti kalian akan berikan semua apel tersebut. Tapi saya lihat tadi sampai ada yang merayu-rayu untuk meminta apel kepada teman-temannya. Jika kalian tahu meminta itu nilainya minus, pasti kalian tidak akan pernah meminta. Padahal kalian tahu, dalam Islam, kita dianjurkan untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan meminta sebanyak-banyaknya.”

Semua wajah-wajah siswa seakan-akan ada bintang yang menyinarinya. Saya melihat mulai ada raut kesadaran dan pemahaman dari permainan berburu apel emas tadi. Lalu saya keluarkan dua buah apel beneran. Satu apel yang besar, ranum, warnanya merah mudah, sangat menggiurkan. Satu lagi apel kecil yang busuk.
Ketika saya tanya, jika kedua apel ini adalah teman-teman kalian, manakah yang kalian pilih?”
Semua menjawab apel yang bagus. Tidak mau apel yang busuk. Lalu momen yang dahsyat terjadi. Saya membelah kedua apel itu secara melintang. Ternyata sama-sama mempunyai bintang di dalamnya. Dan pada bintang itu sama-sama mempunyai beberapa biji apel.

“Lihatlah, apel yang baik ini, di dalam dirinya ada bintang. Bintang itu lambang kesuksesan. Lalu lihatlah apel busuk yang kalian hindari, ternyata juga mempunyai bintang. Tidak hanya itu, apel busuk itu juga mempunyai biji. Coba kalian ambil satu biji, tanam, akan menajdi sebuah pohon apel yang mempunyai puluhan buah apel yang baik.”

Saya meminta siswa melingkar, saya meminta masing-masing jujur menilai sisi buruk dari teman-temannya. Yang paling banyak mendapat sisi buruk tentunya yang paling jahil, yaitu Ian dan Robi. Semua siswa juga mempunyai label sisi buruk. Masih di dalam lingkaran saya berkata.

“Adik-adik, saya salut ketika dua minggu lalu ada isu gempa di sini. Kalian menunjukkan kerjasama yang luar biasa. Namun dalam keseharian, kerjasama itu luntur kembali. Mengapa? Sebab kalian belum punya cantolan untuk mengaitkan tali kerja sama satu sama lain. Kenapa tidak punya cantolan? Sebab kalian selalu memandang sisi buruk dari diri masing-masing. Sisi buruk itu kalian sebutkan barusan. Ian si jahil. Robi si penganggu, dan lain-lain. Kalian masih memandang satu sama lain seperti memandang apel yang busuk. Padahal hari ini kalian tahu di dalam apel tersebut ada bintang. Bintang adalah cantolan yang harus kalian dapatkan hari ini. Sehingga lingkaran ini tidak akan pernah putus, jika diberikan tali yang kuat. Cantolan itu adalah pengait tali itu. Ayo sekarang munculkan bintang pada diri kalian. Munculkan cantolan itu agar tali bisa dikaitkan. Ayo munculkan sisi baik kalian. Tinggalkan sisi buruk kalian. Ayo sebutkan. Mulai dari Ian dan Robi.”

Dengan tersendat-sendat dan perlu waktu beberapa saat Ian merenungi sisi baiknya. Hampir tidak berhasil. Cepat-cepat saya beri motivasi, saya ingatkan lagi dengan buah apel yang busuk masih tetap punya bintang. Di luar dugaan, teman-teman Ian yang lain juga memberi semangat.

“Ayo Ian ... temukan bintangmu ...!!!”
Akhirnya dari mulutnya perlahan Ian mengeluarkan suara.
“Aku ini ... jujur, tidak pernah bohong, pak Munif.”
Saya meminta Ian menyebutnya dengan keras, bintang dalam dirinya yang barusan ditemukannya.
“Aku Ian, sang jujur!!!” teriaknya lantang. Semua teman-temannya memberi tepuk tangan. Lalu satu persatu mereka menyebutkan bintangnya.
“Aku Robi, sang penolong!”
“Aku Abi, sang pengaman!”
“Aku Ja’far, sang pemberi!”
“Aku Diki, sang pemimpin!”
“Aku Ali, sang disiplin!” dan seterusnya.

Betapa leganya saya semua siswa akhirnya menyebutkan bintang dalam dirinya.

“Alhamdulillah, sekarang saya lega, kalian sudah mempunyai bintang. Jadikan bintang itu cantolan kalian. Jadikan bintang itu perilaku khas kalian. Tinggalkan Ian si jahil. Sebut Ian sekarang dengan bintangnya, sang jujur. Kaitkan tali kerjasama itu pada perilaku Ian yang positif. Ingat kalian hanya punya waktu tiga tahun di sekolah ini. Dengan kerjasama yang baik, kalian akan berhasil.”

Saya menutup kelas itu dengan semangat siswa yang menyala-nyala. Kemudian mereka sepakat memberi nama lingkaran tersebut dengan nama EAGLE SQUAD.

Sukabumi, 24 November 2010
_______

catatan pak guru

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

1 komentar: